APAKAH COVID-19 DAPAT DIKATAKAN SEBAGAI DASAR FORCE MAJEURE ?
![]() |
source: Google |
Oleh: I Nengah Maliarta, S.H.
Di tengah-tengah
pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) yang melanda sebagian besar belahan
dunia termasuk Indonesia, banyak sekali permasalahan-permasalahan yang
mengikutinya. Masalah kesehatan, kebersihan, sosial, keamanan dan lain
sebagainya datang menjadi satu paket bersama pandemi Covid-19 ini. Tidak
terkecuali masalah pada dunia hukum dan dunia usaha, hal tersebut karena keduanya
memang memiliki kaitan yang sangat erat.
Permasalahan hukum di dalam dunia usaha yang muncul di tengah pandemi Covid-19 adalah potensi pelaksanaan
perjanjian kerja sama yang dapat berjalan secara tidak efektif sebagaimana dimuat dalam
klausul perjanjian kerja sama yang sudah disepakati oleh para pihak. Apalagi setelah
berlakunya Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran CoronaVirus Disease 2019 Covid-19 sebagai Bencana Nasional (Keppres Nomor 12
Tahun 2020) tanggal 13 April 2020
yang lalu. Banyak sekali muncul pertanyaan apakah Covid-19 dapat dikatakan
sebagai alasan atau dasar telah terjadinya keadaan memaksa / force majeure terhadap pelaksanaan perjanjian-perjanjian
tersebut ?
-semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya-
Force Majeure secara umum diatur dalam Pasal 1245 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata yang pokoknya pada saat debitur tidak bisa
menunaikan kewajiban sebagaimana diperjanjikan, debitur dibebaskan dari segala
biaya, ganti rugi dan bunga sepanjang debitur dapat membuktikan adanya force majeure atau keadaan memaksa yang
mengakibatkan tidak dapat terlaksananya poin-poin yang diperjanjikan tersebut. Force majeure menjadi salah satu klausul yang wajib ada di dalam
suatu perjanjian. Klausul force majeure
menjadi semacam klausul “pengaman” bagi salah satu pihak yang tidak dapat
menunaikan kewajibannya karena sesuatu alasan yang bukan karena kehendaknya
sendiri atau tidak berada di bawah penguasaannya. Klausul force majeure umumnya dapat dicontohkan sebagai berikut:
PASAL ...
FORCE
MAJEURE
1. Masing-masing
pihak dibebaskan dari tanggungjawab atas keterlambatan atau kegagalan dalam
memenuhi kewajiban yang tercantum dalam perjanjian ini, yang disebabkan oleh
kejadian diluar kehendak
masing-masing pihak yang dapat digolongkan sebagai Force Majeure.
2. Peristiwa
yang dapat digolongkan Force Majeure
antara lain yang disebabkan bencana alam seperti gempa bumi, petir, angin
kencang, taufan, banjir atau hujan terus menerus dan non alam seperti wabah
penyakit, perang, peledakan, sabotase, terorisme, revolusi, pemberontakan,
huru hara, adanya kebijakan moneter yang berpengaruh terhadap pelaksanaan
Perjanjian Kerja ini.
3. Apabila
terjadi Force Majeure maka Pihak yang
bersangkutan harus melaporkan kepada Pihak lainnya selambat-lambatnya 14 (empat belas)
hari setelah terjadinya Force Majeure
tersebut.
|
Sekalipun pandemi
Covid-19 sudah tetapkan oleh Pemerintah sebagai bencana nasional nonalam melalui
Keppres Nomor 12 Tahun 2020 yang kemudian diikuti dengan aturan-aturan
turunannya seperti Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang mengakibatkan
pergerakan penduduk termasuk para pekerja menjadi terbatas termasuk
pembatasan terhadap kegiatan perkantoran dengan sektor usaha tertentu. Namun
tetap saja, secara umum Covid-19 sebagai suatu wabah penyakit tidaklah dapat dijadikan
sebagai dasar suatu keadaan memaksa / force
majeure yang diberlakukan secara umum.
Sebagai contoh, force majeure bagi satu orang yang
sedang terikat dalam suatu perjanjian dalam masa pandemi Covid-19 ini tidak
serta merta menjadi suatu hal yang sama terhadap orang lain yang terikat dalam
perjanjian yang berbeda. Force majeure harus
dilihat sebagai suatu yang sifatnya “kondisional tertentu” berdasarkan kasus
per kasus tergantung dari pada sifat, jenis, keadaan-keadaan dan subjek maupun
objek perjanjian.
Misalnya:
- Perjanjian
dengan objek pembuatan aplikasi antara seorang programmer dengan sebuah
perusahaan yang dalam pembuatannya hanya membutuhkan sumber daya listrik
untuk menghidupkan mesin produksi (komputer), secara umum di masa pandemi
Covid-19 dan PSBB ini tentu masih bisa dikerjakan secara normal karena
tidak memerlukan akses keluar rumah, dan semacamnya.
- Perjanjian
dengan objek antar jemput dengan sepeda motor antara seorang karyawan perusahaan
dengan seorang ojek pangkalan, di masa pandemi Covid-19 dan PSBB
pengendara bermotor dibatasi hanya boleh mengangkut penumpang dengan alamat yang sama antara yang pengendara motor dengan yang dibonceng.
Kondisi demikian tentu membuat tidak dapat dijalankannya perjanjian antar
jemput dengan sepeda motor tersebut.
Apabila pandemi
Covid-19 dilihat secara umum sebagai suatu force
majeure, tentu akan menjadi tidak tepat diberlakukan terhadap kasus nomor 1,
karena meskipun dalam situasi pandemi Covid-19 programmer aplikasi tersebut
masih tetap bisa menunaikan kewajibannya untuk mengerjakan aplikasi tersebut. Berbeda
dengan kasus nomor 2, akan menjadi tepat apabila pandemi Covid-19 dengan aturan
turunannya yaitu PSBB dikatakan sebagai sebab yang memaksa tidak dapat
dilaksanakannya kewajiban tukang ojek untuk mengantar karyawan tersebut.
Kesimpulannya
force majeure di tengah-tengah
pandemi Covid-19 ini tidak bisa dikatakan sebagai dasar suatu keadaan memaksa /
force majeure yang berlaku umum. Force majeure dalam kaitannya dengan
pandemi Covid-19 harus dilihat sebagai sesuatu yang pendekatannya kasus per
kasus tergantung dari pada sifat, jenis, keadaan-keadaan dan subjek maupun
objek perjanjiannya.
Komentar
Posting Komentar