Hukuman Pidana Tambahan Kebiri Kimia untuk Pemerkosa Anak dalam Perspektif Keadilan
![]() |
source: Google |
Oleh: I Nengah Maliarta, S.H.
“Seorang terpelajar harus
sudah berbuat adil sejak dalam
pikiran apalagi dalam perbuatan” - Pramoedya Ananta Toer
Itulah
sepenggal kalimat dari Pramoedya Ananta Toer yang memaksa kita setidaknya untuk
merefleksikan diri kembali, sudahkah kita berbuat adil walaupun hanya dalam
pikiran terlebih lagi dalam setiap perbuatan yang telah kita lakukan. Walaupun
ketika berbicara tentang adil dan keadilan lagi-lagi akan menemui perdebatan
karena memang tidak ada standar adil dan keadilan yang baku harus seperti apa
dan bagaimana. Karena dari hatinya yang paling dalam setiap manusia pasti
merasakan sebuah keadilan menurut versinya masing-masing tergantung sejauh mana ia terlibat baik langsung maupun tidak langsung di dalam sebuah persitiwa..
"Karena keadilan tidak dapat memberikan rasa adil yang sama
bagi setiap insan"
Berbicara
tentang keadilan tentu saja akan sering sekali bersinggungan dengan hukum. Hal
tersebut tentu saja tidak terelakkan karena tujuan dari hukum sendiri pun
adalah untuk memberikan “keadilan” , disamping juga kepastian serta kemanfaatan
bagi masyarakat.
Seiring dengan
perkembangan perbadaban umat manusia, perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi (IPTEK), hukum pun terus mengalami perkembangannya sebagaimana teori
hukum progresif dari Prof Satjipto
Rahardjo; hukum itu
berkualitas sebagai ilmu yang senantiasa mengalami pembentukan, legal science is always in the making. Hukum
terus berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat, perilaku serta pola
kehidupannya, termasuk juga seiring dengan pola kejahatan yang berkembang di
masyarakat.
Perhatian
publik Indonesia akhir-akhir ini tertuju ke Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur,
dimana pada 2 Mei 2019 lalu pengadilan Negeri Mojokerto menjatuhkan vonis
hukuman yang tergolong masih sangat baru diterapkan di Indonesia, yaitu hukuman
pidana tambahan kebiri kimia. Vonis tersebut dijatuhkan terhadap seorang tukang
las di Mojokerto yang bernama Muhammad Aris (21) warga Dusun Mengelo, Desa
Sooko, Kecamatan Sooko, Mojokerto. Selain dijatuhi hukuman kebiri kimia, ia
juga harus menjalani hukuman penjara selama 12 tahun dan denda Rp 100 juta
subsider 6 bulan kurungan karena melakukan perbuatan pemerkosaan terhadap 9
anak-anak yang masih berada di bawah umur.
Muhammad
Aris di dakwa dengan pasal 76 D juncto
pasal 81 ayat 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2016 tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016
tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak. Vonis kebiri kimia ini akan menjadi yang pertama di
Indonesia, karena memang aturannya pun masih tergolong baru yaitu Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 yang diundangkan pada
tanggal 25 Mei 2016 lalu.
Putusan ini menimbulkan kontroversi
karena dinilai bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (HAM) hingga Ikatan Dokter
Indonesia (IDI) telah menyatakan sikap akan menolak apabila dilibatkan
menjadi eksekutor yang mengeksekusi langsung hukuman pidana kebiri kimia
tersebut. IDI menilai mengeksekusi putusan tersebut bertentangan dengan kode
etik profesi dokter.
Layaknya sebuah uang logam yang memiliki
dua sisi yang berbeda, begitu pula disetiap kebijakan-kebijkan yang baru dibuat
selalu terdapat pro dan kontra yang mengirinya, termasuk hukuman pidana kebiri
kimia ini, ada yang setuju dan ada pula yang menolaknya.
Di satu sisi memang perbuatan yang
telah dilakukan oleh pelaku merupakan suatu perbuatan yang sangat keji, karena
berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan, dari ke sembilan
korban rata-rata masih duduk di bangku Taman Kanak-kanak (TK). Kejadian ini
tentu akan mengganggu pertumbuhan korban baik secara sosial
maupun secara mental.
Pelaku telah merenggut hak-hak korban untuk tumbuh
berkembang secara normal dan mendapatkan lingkungan yang nyaman. Sehingga
sangat pantas apabila mendapatkan hukuman yang sangat berat. Selain sebagai pemberian
hukuman yang setimpal bagi pelaku, juga untuk memberikan efek jera agar tidak mengulangi
melakukan perbuatannya lagi kelak di kemudian hari serta untuk mencegah
pelaku-pelaku pelecehan seksual anak di bawah umur lainnya
untuk melakukan aksinya lagi.
Namun pertanyaannya: Apakah hukuman
kebiri kimia akan menjadi solusi yang tepat sebagai pilihan hukuman pidana yang
merupakan ultimum remedium (obat
terakhir) ? Seberapa efektifkah hukuman kebiri ini akan menjamin bahwa pelaku
akan jera dan tidak mengulanginya kembali ? Seberapa mampu hukuman ini
mewujudkan tujuan hukum untuk memberikan rasa keadilan serta memberi
kebermanfaatan bagi korban, pelaku, dan masyarakat pada umumnya ?
Pada prakteknya hukuman kebiri terdiri
dari dua metode yakni metode bedah atau permanen dan yang kedua adalah metode
kimia. Metode kimia ini dilakukan dengan memasukkan zat kimia ke dalam tubuh terpidana
yang berakibat akan mengurangi kadar hormon testosteron dalam tubuhnya sehingga
menurunkan hasrat seksual dan libidonya. Namun dengan menurunkan atau bahkan
menghilangkan hasrat seksual dan libido dari pelaku dengan cara kebiri kimia
tidak akan memberikan jaminan secara langsung dan praktis mengurungkan niat
pelaku untuk mengulangi melakukan perbuatan cabul terhadap anak-anak lagi.
Apalagi kebiri kimia ini bukanlah kebiri yang bersifat permanen atau dengan
kata lain akan ada fase kadar hormon testosteron yang sempat dikurangi akan
kembali normal lagi. Sehingga akan ada kemungkinan ketika sudah normal lagi
pelaku akan mengulangi perbuatannya.
Selain itu, dikhawatirkan hukuman
kebiri kimia ini tidak akan memberikan kebermanfaatan secara khusus kepada
pelaku untuk menjadi lebih baik, karena secara psikis hukuman tersebut akan
mempengaruhi kondisi kejiwaan pelaku. Malahan bisa menjadi faktor pemicu
bagi pelaku untuk melakukan perbuatan yang lebih buruk lagi dikemudian hari.
Karena pada dasarnya niatan untuk melakukan suatu perbuatan jahat berasal dari
fikiran yang dipengaruhi oleh kondisi kejiwaan pelaku, bukan semata-mata
dari harsat seksualitasnya saja. Oleh karena itu dengan tekanan psikis pasca
hukuman kebiri kimia pelaku bisa saja mengulangi melakukan kejahatan seksual
dengan cara lain yang bahkan bisa-bisa lebih kejam, seperti melakukan pelecehan
dengan menggunakan jari tangan, menyerang korban dengan benda tumpul dan
sebagainya atau bahkan mungkin saja pelaku bisa membunuh korban.
Tidak hanya dari sisi pelaku, yang
harus menjadi fokus utama pemerintah tentu adalah dari sisi korban.
Pemberlakukan hukuman yang terkesan berat dan menakutkan jangan sampai
menimbulkan kesan bahwa pemerintah sangat peduli dengan perlindungan anak
sehingga menghukum pelaku pelecehan seksual anak dengan seberat-beratnya akan
tetapi lupa dengan tugas utamanya yaitu memberikan fokus perhatian yang lebih
kepada anaknya itu sendiri.
Karena pada dasarnya perlindungan terhadap anak
haruslah dikembalikan kepada pengertiannya yang paling utama yaitu memberikan
perlindungan dan keberpihakan yang nyata terhadap anak. Dalam hal ini terutama anak yang menjadi korban kejahatan atau pelecehan seksual. Bukan hanya sekedar memberikan
hukuman yang bombastis kepada pelaku akan tetapi sama sekali tidak memberikan
upaya-upaya rehabilitasi dan semacamnya yang berfokus kepada pengembalian
kepercayaan diri anak, psikis dan harapan untuk masa depan yang lebih baik bagi
anak.
Kondisi ini tentu harus segera menjadi
bahan evaluasi bagi pemerintah agar setiap aturan yang di buat benar-benar
mencerminkan perlindungan atas hak-hak masyarakat dan khususnya dalam hal ini
bagi anak-anak di bawah umur. Agar setiap aturan yang di buat bisa menjamin
pemenuhan rasa keadilan, memberikan kepastian secara hukum dan yang tidak kalah
penting haruslah memberi kebermanfaatan bagi kemaslahatan masyarakat banyak.
Mantul gan. Bahas masalah membunuh org yg mencoba membunuh kita gan.
BalasHapusTerimakasih atas responnya untuk postingan pertama kami, ditunggu untuk tulisan-tulisan berikutnya.
Hapus