WARISAN: SURAT WASIAT ATAU KETENTUAN UNDANG-UNDANG YANG HARUS DIDAHULUKAN ?
![]() |
source: Google Oleh: I Nengah Maliarta, S.H. |
Untuk
menghindarkan perselisihan di dalam sebuah keluarga, orang tua sebagai pemilik dari
segala harta benda yang kelak akan diberikan atau diwariskan kepada
anak-anaknya selaku ahli waris biasanya membuat suatu pembagian dalam bentuk
surat wasiat. Surat wasiat atau yang biasa disebut juga dengan testamen adalah
suatu akta yang memuat pernyataan seorang tentang apa yang dikehendakinya akan
terjadi setelah ia meninggal dunia, dan yang olehnya dapat dicabut kembali.
Di dalam
masyarakat Indonesia khususnya di daerah kelahiran penulis yaitu Bali,
membicarakan surat wasiat apalagi surat wasiat tentang pembagian harta benda
masih merupakan sesuatu yang sifatnya tabu. Karena membicarakan surat wasiat
sama saja dengan membicarakan kematian seorang yang masih hidup, khususnya
pewaris dan umumnya adalah orang tua.
Namun apabila terdapat
surat wasiat yang mengatur pembagian warisan dari pewaris / pemberi wasaiat yang
telah dikehendaki olehnya semasa hidupnya sementara di sisi yang lain terdapat
ketentuan undang-undang yang mengatur mengenai hal ihwal warisan, lalu ketentuan
yang manakah harus didahulukan ?
BERIKUT ULASANNYA:
Ketentuan Pasal
874 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer) mengatur bahwa “segala harta peninggalan seorang yang
meninggal dunia, adalah kepunyaan sekalian ahli warisnya menurut undang-undang,
sekadar terhadap itu dengan surat wasiat tidak telah diambilnya sesuatu
ketetapan yang sah.”
Artinya, menurut
ketentuan undang-undang segala harta peninggalan (warisan) dari seorang yang
meninggal, sepenuhnya adalah menjadi hak
para ahli waris sepanjang pewaris tidak menentukan lain dalam suatu ketetapan
yang sah berupa surat wasiat. Sehingga apabila terdapat surat wasiat yang ditinggalkan oleh pewaris maka harta peninggalan tadi tidak lagi sepenuhnya menjadi hak sekalian para ahli waris saja, namun terdapat pula ketentuan dari surat wasiat yang harus diperhatikan.
Namun demikian, walaupun
surat wasiat memuat “kehendak-kehendak pewaris” semasa hidupnya, pewaris tidak
bisa mewasiatkan seluruh harta kekayaannya yang masuk ke dalam bagian mutlak / legitime portie ahli waris. Bagian
mutlak atau legitime portie adalah sebagian
dari seluruh harta benda peninggalan yang harus diberikan kepada para ahli waris
dalam garis lurus menurut undang-undang, yang terhadapnya orang yang meninggal
(pewaris) tidak boleh menetapkan sesuatu, baik sebagai hibah / pemberian antara
orang-orang yang masih hidup maupun sebagai wasiat.
Pasal 914 KUHPer
menentukan legitime portie atau bagian
mutlak ahli waris, sebagai berikut:
1. Ahli waris anak yang sah (termasuk keturunannya dalam derajat ke berapa pun,
namun dihitung sebagai ahli waris pengganti dari ahli waris awal)
a. Apabila pewaris
hanya meninggalkan 1 (satu) orang anak sebagai ahli waris maka bagian mutlaknya
adalah 1/2 (satu per dua) dari seluruh harta warisan.
b. Apabila pewaris meninggalkan
2 (dua) orang anak sebagai ahli waris maka bagian mutlaknya adalah 2/3 (dua per
tiga) dari seluruh harta warisan.
c. Apabila pewaris meninggalkan
3 (tiga) orang anak atau lebih sebagai ahli waris maka bagian mutlaknya adalah
3/4 (tiga per empat) dari seluruh harta warisan.
2. Ahli waris dalam garis lurus ke atas (orang tua /
kakek / nenek, dst)
Bagian mutlaknya
adalah masing-masing 1/2 (satu per dua) dari seluruh harta warisan.
3. Ahli waris anak luar kawin yang sah
Bagian mutlaknya
adalah masing-masing 1/2 (satu per dua) dari seluruh harta warisan.
Surat wasiat sebagai
pengecualian ketentuan undang-undang harus dibuat dalam bentuk akta atau surat tertulis
lengkap dengan tanda tangan pembuatnya, wasiat tidak bisa dibuat secara lisan. Walaupun
harus dibuat dalam bentuk akta atau surat tertulis, namun tidak ada ketentuan
baku yang mensyaratkan surat wasiat tersebut harus dibuat dalam bentuk akta
otentik (dibuat oleh dan di hadapan pejabat yang berwenang / notaris) atau akta
di bawah tangan (dibuat dan ditandatangani sendiri oleh pembuat wasiat).
Keduanya
sama-sama diperbolehkan, namun pada prakteknya lebih disarankan surat wasiat
dibuat dalam akta otentik atau dibuat oleh dan di hadapan notaris, hal tersebut
karena akta otentik memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna. Apabila surat
wasiat dibuat di bawah tangan, biasanya masih memerlukan otentikasi dari
notaris, yang kemudian akan disimpan dan dibuatkan akta penyimpanan serta
mendaftarkannya ke Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU) pada Kementrian Hukum dan
Hak Asasi Manusia Republik Indonesia bagian wasiat.
Surat wasiat
dapat dibagi ke dalam beberapa bentuk, berikut adalah bentuk-bentuk Surat
Wasiat tersebut:
1. Surat Wasiat Olografis,
yaitu surat wasiat yang ditulis dan ditandatangani sendiri oleh pemberi wasiat
dalam bentuk akta di bawah tangan, kemudian diserahkan kepada notaris untuk
dibuatkan akta penyimpanan yang ditandatangani lagi olehnya bersama notaris dan
saksi-saksi. Surat wasiat ini bisa dibuat secara terbuka, artinya notaris bisa
membuka dan memahami seluruh isi wasiat kemudian memberikan keterangan mengenai
penyimpanan tersebut di bagian bawah wasiat tersebut. Namun bisa juga dibuat
secara tertutup, artinya notaris tidak bisa membuka dan memahami isi wasiat
tersebut, notaris hanya bisa mendengar keterangan yang disampaikan oleh pemberi
wasiat kemudian membuatkan akta penyimpanan secara terpisah perihal penyimpanan
wasiat tersebut.
2. Surat Wasiat Rahasia,
surat wasiat ini hampir sama dengan surat wasiat olografis namun surat wasiat
ini sifatnya rahasia atau tertutup. Surat wasiat rahasia ditulis dan
ditandatangani sendiri oleh pemberi wasiat, kemudian diserahkan kepada notaris
untuk dibuatkan akta penyimpanan di hadapan 4 (empat) orang saksi yang disertai
dengan keterangan bahwa di dalam surat tersebut memuat surat wasiat yang dibuat
dan ditandatangani olehnya sendiri.
3. Surat Wasiat Umum,
surat wasiat ini dibuat oleh di hadapan notaris atau yang sebelumnya disebut
sebagai akta otentik, yaitu pemberi wasiat datang sendiri ke kantor notaris untuk
menerangkan apa saja yang akan ia muat di dalam surat wasiatnya. Kemudian notaris
akan menulis apa-apa saja yang disampaikan pemberi wasiat, kemudian notaris bersama-sama
pemberi wasiat dan 2 (dua) orang saksi menandatangani surat wasiat itu.
Surat wasiat
setidak-tidaknya harus memuat pernyataan dari pemberi wasiat tentang apa saja
yang ia kehendaki akan terjadi ketika dirinya meninggal termasuk harta apa saja
yang dimiliki dan akan di wasiatkan (objek), siapa-siapa saja yang menjadi
penerima wasiat (subjek) beserta bagiannya masing-masing dan menentukan siapa
yang akan ditunjuk untuk melaksanakan surat wasiatnya tersebut.
Surat wasiat
yang sudah dibuat tersebut masih bisa dicabut apabila pemberi wasiat
menghendakinya. Pencabutan tersebut bisa dilakukan secara tegas maupun secara
diam-diam. Pencabutan secara tegas berarti pemberi wasiat membuat surat wasiat
baru sebagai pengganti surat wasiat yang akan dicabut dengan menyertakan
keterangan bahwa surat wasiat baru tersebut sekaligus mencabut surat wasiat
yang sebelumnya sehingga tidak berlaku lagi.
Kemudian pencabutan
secara diam-diam terjadi apabila pemberi wasiat hanya membuat surat wasiat baru
sebagai pengganti surat wasiat yang lama namun tidak menyertakan keterangan bahwa
surat wasiat yang baru tersebut mencabut surat wasiat yang terdahulu. Namun,
walaupun tidak disertakan keterangan pencabutan, apabila sudah ada surat wasiat
baru maka secara hukum surat wasiat yang lama otomatis menjadi gugur.
Tidak ada ketentuan baku yang mengatur mengenai format surat
wasiat, undang-undang pun tidak ada mengatur secara pasti, namun secara umum surat wasiat
minimal berisi keterangan-keterangan berupa:
1. Identitas
pemberi dan penerima secara jelas (minimal sesuai ktp);
2. Obyek wasiat
atau benda-benda yang akan diwasiatkan (harus jelas sesuai dengan dokumen benda
tersebut. Misalnya sebidang tanah, antara tanah dan surat-surat berupa
sertifikat tanah tersebut harus sesuai);
3. Pencabutan
wasiat sebelumnya (apabila surat wasiat yang dibuat adalah surat wasiat pengganti
surat wasiat terdahulu, maka sebaiknya dicantumkan keterangan pencabutan);
4. Pelaksana surat
wasiat;
5. Saksi-saksi; dan
6. Tanda tangan
(semua pihak).
Komentar
Posting Komentar